Beranda Berita Photo Bagaimana Melakukan Reviu Rancangan Perturan Perundang-Undangan?

Bagaimana Melakukan Reviu Rancangan Perturan Perundang-Undangan?

BERBAGI

 

purOleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

Penyusunan dokumen Peraturan Perundang-undangan (PUU) meliputi proses pembuatan judul, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan, dan lampiran. Setelah melalui proses ini, seorang perancang PUU melakukan reviu menyeluruh atas dokumen rancangan. Berdasarkan reviu tersebut dibuat perbaikan untuk selanjutnya menjadi draf rancangan utuh yang siap dibahas oleh pihak yang berkepentingan. Reviu tersebut dilakukan baik untuk rancangan yang dibuat oleh si perancang sendiri maupun rancangan yang dibuat oleh orang lain.

Proses reviu ini dimaksudkan agar suatu rancangan PUU telah memenuhi kaidah PUU yang baik, seperti:

  1. berisi materi muatan yang tepat sesuai dengan kebutuhan pengaturan;
  2. memenuhi syarat bentuk dan format sesuai kaidah yang berlaku (Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan);
  3. kesesuaian antar ketentuan (pasal) di dalamnya;
  4. kesesuaian dengan PUU yang lain; dan
  5. penggunaan tata bahasa yang terhindar dari kemungkinan multitafsir.

Pekerjaan mereviu PUU umumnya dilakukan oleh pegawai/staf di bagian/biro hukum di kementerian/lembaga pemerintah/lembaga swasta. Namun saat ini, seiring dengan makin meningkatnya kesadaran akan perundang-undangan, tidak hanya mereka saja yang melakukan pekerjaan itu, tetapi juga komunitas masyarakat lain yang berkepentingan. Saat ini, reviu rancangan PUU tidak hanya dilakukan sarjana hukum, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat umum yang bukan sarjana hukum. Hal ini merupakan perkembangan yang menggembirakan.

Untuk melakukan reviu PUU beberapa hal yang perlu dilaksanakan.

1. Membuat Ringkasan (Pokok-Pokok Isi) Rancangan PUU

Ringkasan rancangan PUU berisi rangkuman dari ketentuan yang diatur dalam rancangan PUU dengan bahasa yang bukan bahasa pasal, melainkan bahasa narasi yang lebih mudah dimengerti pembacanya. Membuat ringkasan bukanlah merupakan keharusan. Namun, membuat ringkasan akan bermanfaat terutama untuk peraturan yang mengatur substansi yang kompleks. Kemanfaatan membuat ringkasan rancangan akan berguna dalam banyak hal.

Pertama, sebagai alat ukur apakah suatu rancangan dapat dimengerti. Apabila seorang perancang saja tidak dapat memahami isi rancangan, bagaimana dengan pembaca umum yang tidak akrab dengan rancangan itu. Kelemahan seperti konsep yang tidak jelas, pengaturan yang buruk, penuangan kalimat yang tidak apik, atau ketiganya menjadi terlihat dengan membuat ringkasan ini. Ketika ternyata sulit membuat ringkasan, maka perbaikan besar atas suatu rancangan perlu dilakukan.

Baca Juga :  Strategi Pemkot Jelang PSBB Ketat DKI Jakarta

Kedua, sebagai alat ukur apakah suatu rancangan telah menggambarkan apa yang dimaksudkan dan dipikirkan oleh perancang. Ketika ternyata berbeda atau tidak sesuai, berarti rancangan perlu diperbaiki.

Ketiga, ketika menyiapkan ringkasan, perancang mungkin menyadari bahwa bahasa yang digunakan terlalu tinggi yang sulit dimengerti pembaca umum. Perancang sebaiknya menyesuaikan penggunaan bahasa yang digunakannya dengan bahasa yang dapat dimengerti masyarakat pada umumnya (ordinary person).

Keempat, ringkasan tersebut dapat menjadi pegangan bagi perancang pada tahap selanjutnya dari proses pembentukan PUU.

2. Membuat Bagan Alur (Flowchart)

Membuat flowchart adalah pekerjaan merangkai diagram skema dari pengaturan di dalam rancangan PUU. Membuat flowchart mempunyai beberapa kemanfaatan:

Pertama, membantu perancang menguasai substansi rancangan secara cepat karena dengan flowchart, aliran/kronologi dari ketentuan-ketentuan dalam rancangan dapat lebih mudah diikuti. Seringkali ditemukan rancangan yang tidak tersusun secara sistematis. Rancangan ini nantinya dapat menyulitkan pembaca untuk dapat memahaminya dan pada akhirnya rancangan yang ditetapkan tidak dapat dilaksanakan sesuai tujuan.

Kedua, ketika menyusun flowchart, perancang dipaksa untuk menjawab pertanyaan simulasi seperti “apa-mengapa-kapan-dimana-siapa-bagaimana” “apabila ya bagaimana, apabila tidak bagaimana”. Atau “apabila…, maka…”. Flowchart juga akan membantu menggambarkan konsekuensi dari suatu ketentuan dan akan menginventarisasi pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab.

Ketiga, ketika ternyata perancang menemukan bahwa flowchart menunjukkan pengaturan yang tidak sesuai dengan maksud pengaturan, maka hal ini berarti pengaturan itu masih bermasalah dan perlu diperbaiki.

Adapun langkah-langkah membuat flowchart sebagai berikut:

  • Secara sederhana membuat flowchart dimulai dengan membagi materi pokok ke dalam kelompok-kelompok yang dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian. Contoh:
  1. Pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
  2. Pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung, Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
  • Buatlah pertanyaan terhadap kelompok-kelompok tadi dengan  dalam bentuk pertanyaan “apa-mengapa-kapan-dimana-siapa-bagaimana” “apabila ya bagaimana, apabila tidak bagaimana”. Atau “apabila…, maka…”.
  • Buatlah jawaban atas masing-masing pertanyaan berdasarkan pertanyaan di atas.
  • Buatlah identifikasi konsekuensi dari jawaban yang ada.
  • Selesaikan chart sampai didapat kesimpulan akhir.
Baca Juga :  Rumah Hancur Diterjang Angin, Emak Asiah Menanti Kebaikan Ibu Walikota

3. Reviu Substansi

Setelah suatu rancangan selesai disiapkan, kemudian proses berpikir dimulai. Dalam benak perancang mestinya terdapat pertanyaan apakah rancangan ini akan bisa diterapkan? Apakah rancangan sesuai dengan tujuan pengaturan? Apakah rancangan bisa diterima masyarakat? Perancang sebaiknya mereviu rancangan dengan berbagai pertanyaan:

  • Apakah rancangan telah mengatur semua ketentuan yang perlu diatur?
  • Apakah rancangan akan memenuhi syarat dan kaidah bentuk dan format?
  • Apakah rancangan mengandung penafsiran ganda yang dapat berakibat fatal?
  • Apakah rancangan mengandung celah kelemahan yang memungkinkan pihak yang tidak bertanggung jawab memanfaatkan celah itu untuk kepentingan yang tidak semestinya?
  • Apakah rancangan konsisten secara internal?
  • Apakah hak, tugas, dan konsekuensi hukum pengaturan di dalam rancangan diatur secara jelas dan dan tegas.
  • Apakah tujuan rancangan dituangkan secara benar?

Reviu sustansi dilakukan dengan membandingkan ketentuan dalam rancangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan peraturan yang lebih rendah (vertical review) dan membandingkan dengan peraturan yang sama tingkatannya (horizontal review). Perancang berusaha mencari ketidakkonsistenan rancangan secara vertikal dan secara horisontal. Upaya ini dilakukan untuk mencegah tumpang-tindih rancangan dengan peraturan yang ada.

Reviu bersama dengan Pihak Lain

Membuat rancangan awal dalam sebuah tim merupakan pekerjaan yang membosankan, membuat frustasi, dan tidak produktif. Oleh karena itu, pada tahap awal perancangan sebaiknya dilakukan sendiri. Setelah rancangan selesai baru disampaikan kepada pihak yang berkepentingan (stakeholders). Kepada mereka jangan diberikan rancangan yang rumit. Cukup dijelaskan bahwa rancangan telah menggambarkan tujuan dan keinginan mereka. Perancang dapat bersama mereka mereviu ketentuan demi ketentuan dalam rancangan, menjelaskan arti dari setiap ketentuan dan memastikan rancangan itu sesuai dengan keinginan mereka. Sebaiknya dibuat rangkuman tertulis sehingga dapat dijadikan bagian dari arsip sejarah (history) suatu PUU.

4. Reviu Tata Bahasa dan Pemilihan Kata

Tugas mereviu tata bahasa dan pemilihan kata lebih baik tidak dilakukan sendiri oleh perancang. Perancang tidak akan dapat berpikir adil dan menyadari kelemahan dan kekurangan hasil karya mereka. Tugas ini sebaiknya dilakukan oleh perancang lain. Dengarkan kritik dan saran dari perancang lain itu. Apabila pembaca memahami ketentuan secara tidak jelas, maka tidak perlu membantah, melainkan harus segera dipikirkan perbaikannya.

Baca Juga :  Mahasiswa Unpam Juara Inovasi Teknologi Tepat Guna Tangsel 2018

Untuk melaksanakan reviu ini dapat digunakan alat pemeriksa tata bahasa dan pilihan kata (grammar and spelling checker) yang tersedia dalam sistem words processor. Alat ini akan mengidentifikasikan kesalahan-kesalahan dan membuat saran perbaikan. Perancang dalam mereviu perlu mempertimbangkan saran perbaikan tersebut. Perancang perlu melihat penggunaan kalimat bentuk pasif, membuat perincian yang tidak tepat, dan kalimat panjang yang tidak efisien. Perlu juga dipertimbangkan untuk menggunakan kalimat sederhana dan lugas (plain language) dalam rancangan.

Untuk mencapai kejelasan dan kesederhanaan kalimat, alat lain yang yang perlu diperkenalkan dan digunakan untuk memeriksa tata bahasa dan ejaan adalah readability index. Alat ini dipergunakan di berbagai institusi di Amerika Serikat. Meskipun masih diperdebatkan oleh ahli bahasa dan ahli hukum, kebanyakan perancang memandang readability index sebagai alat yang berguna dengan beberapa kelemahan. Dengan alat ini, apabila sebuah rancangan memiliki readability index yang sangat tinggi maka seharusnya rancangan tersebut diperbaiki.

5. Membaca Kembali Rancangan

Setelah semua koreksi dan perbaikan dibuat bedasarkan proses reviu di atas dan rancangan telah di-print, rancangan tersebut belumlah selesai sebelum dibaca kembali untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan yang masih ada. Tugas ini sebaiknya dikerjakan oleh seseorang yang tidak menyusun rancangan yang bersangkutan.

Membaca kembali rancangan perlu dilakukan karena apabila terjadi kesalahan yang tidak dikoreksi dan diperbaiki sekecil apapun, pembaca akan dapat menyimpulkan bahwa perancang tersebut tidak kompeten dan profesional. Meskipun ada alat bantu grammar and spelling checker dan readability index di atas, perancang tidak dapat mengandalkannya sepenuhnya. Readability index tidak menjamin rancangan dapat mudah dipahami karena beberapa faktor, seperti panjangnya kalimat, jumlah suku kata dalam tiap kata dan keterkenalan kata tidak dapat disarankan oleh alat itu. Readability index tidak mengukur apakah subtansi dari kalimat masuk akal, tidak mengukur apakah rancangan mengikuti alur logika, dan juga tidak mengukur struktur tata bahasa dari kalimat.